Cari Blog Ini

Selasa, 20 Desember 2011

Pendukung Penguatan Pendapatan Asli Desa

Berbicara mengenai format otonomi desa sebenarnya tidak dapat lepas dari kajian tentang kewenangan desa. Ada beberapa model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa: 
  1. Apabila desa diberi kedudukan sebagai kesatuan masyarakat (self governing community) yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya (kedudukan desa sebagai desa adat) maka kewenangan yang dimiliki oleh desa adalah kewenangan asli berdasarkan asas rekognasi;
  2. Apabila desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (local self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “diserahkan”  dari pemerintah, sesuai dengan asas desentralisasi;
  3. Apabila desa ditempatkan sebagai unit administratif atau kepanjangan tangan negara (lokal self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “didelegasikan” oleh pemerintah atasannya sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan.
 Sejarah pengaturan mengenai desa, kedudukan, dan kewenangannya sangatlah panjang bahkan sudah ada sejak zaman pemerintah Belanda melalui Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) untuk mengatur desa di Jawa dan Madura; serta Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewsten (IGOB) untuk mengatur desa di luar Jawa dan Madura. IGO dan IGOB inilah yang menjadikan bentuk dan corak desa beraneka ragam dengan memiliki ciri-ciri tersendiri. 

Pengaturan desa dalam suatu masa
“penyeragaman” diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1979. Undang-undang ini menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara, yang artinya pemerintahan ada di pusat tetapi dilaksanakan di daerah. Kewenangan desa tidak disebutkan secara jelas hanya dinyatakan bahwa kewenangan, hak-hak, dan kewajiban desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan desa adalah kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul, kewenangan yang oleh peraturan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta tugas pembantuan dari Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah. Undang-undang ini mengarah ke otonomi desa tetapi memberikan cek kosong kepada Bupati untuk mengatur desa karena yang memberikan desentralisasi adalah negara bukan kabupaten.
Sedangkan saat ini kewenangan desa berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Menurut Undang-undang ini kedudukan desa menjadi ambivalen dan tidak jelas. Undang-undang ini mempertegas “otonomi asli” sebagai prinsip pemerintahan desa. “Otonomi asli” berarti identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi dari kewenangan yang diberikan menunjukkan desa sebagai unit administratif atau satuan pemerintahan, sehingga dapat dikatakan bahwa format otonomi desa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah berbentuk campuran.
Mengikuti model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa, maka hubungan keuangan desa dengan pemerintah juga dibedakan sebagai berikut:

  1. Desa kesatuan masyarakat, memperoleh bantuan pemerintah terutama untuk mendukung pengembangan masyarakat;
  2. Desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom, memperoleh dana alokasi desa secara nasional seperti halnya DAU yang diterima oleh provinsi dan kabupaten/kota yaitu Alokasi Dana desa (ADD);
  3. desa administratif, memperoleh bantuan operasional, bantuan pembangunan dan bantuan dalam tugas pembantuan.
Namun demikian, Pendapatan Asli Desa (PADesa) yang terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, serta lain-lain pendapatan asli desa yang sah, juga merupakan sumber pendapatan desa yang diperlukan untuk memperkuat keuangan desa dalam pengelolaan dan pembangunan desa. Oleh karenanya optimalisasi pendapatan asli desa melalui pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi hal yang sangat penting dalam mendukung penguatan PADesa. Jika PADesa bisa ditingkatkan maka desa akan mendapatkan dana pengelolaan dan pembiayaan pembangunan untuk desa tersebut, sehingga akan terwujud kemandirian desa dalam memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas-fasilitas umum di desa. Hal ini akan menjadikan desa untuk tidak hanya menunggu pembangunan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat.

Kamis, 15 Desember 2011

BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)

BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa. BUMDes pada dasarnya merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa dan merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi, yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteran ekonomi masyarakat desa melalui pengembangan usaha ekonomi mereka, serta memberikan sumbangan bagi peningkatan sumber pendapatan asli desa yang memungkinkan desa mampu melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal. 
Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 72 tahun 2005 diamanatkan bahwa dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.
 
1.    Tujuan BUMDes, adalah untuk:
  • memberdayakan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam merencanakan dan mengelola pembangunan perekonomian desa;
  • mendukung  kegiatan investasi lokal, penggalian potensi lokal serta meningkatkan keterkaitan perekonomian pedesaan dan perkotaan dengan membangun sarana dan prasara perekonomian perdesaan yang dibutuhkan untuk mengembangkan  produktifitas usaha mikro perdesaan;
  • mewujudkan kelembagaan perekonomian masyarakat perdesaan yang mandiri dan tangguh untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat;
  • menciptakan kesempatan berusaha dan mengurangi pengangguran;dan
  • mendorong pemerintah desa dalam menanggulangi kemiskinan.

2.    Pembentukan BUMDes
Prisip umum pembentukkan BUMDes:

  • Pemerintah Desa dapat mendirikan BUMDes sesuai dengan kebutuhan desa;
  • Pembentukan BUMDes  ditetapkan  dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan;
  • BUMDes dibentuk berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa, BPD atau masyarakat setempat melalui musyawarah desa, dengan mempertimbangkan:
  1. potensi desa yang mendukung BUMDes;
  2. keberadaan unit-unit kegiatan usaha ekonomi masyarakat yang dikelola secara kooperatif;
  3. kekayaan desa yang sudah dikelola  untuk usaha ekonomi desa;
  4. Kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola  sebagai bagian dari usaha desa;
  5. Ketersediaan sumber daya manusia yang mampu mengelola BUMDes sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat.

Prinsip dasar pembentukan & pengelolaan BUMDes
a.    Pemberdayaan
Dengan prinsip ini diharapkan ada peningkatan kemampuan masyarakat, keterlibatan masyarakat dan tanggungjawab masyarakat dalam pembentukan dan pengelolaan BUMDes.
b.    Keberagaman
Prinsip ini mengandung maksud bahwa BUMDes yang dibentuk harus memperhatikan keragaman usaha yang ada di masyarakat yang mana usaha dimaksud menjadi bagian dari unit usaha BUMDes tanpa mengurangi status keberadaan usahanya
c.    Partisipasi
Pembentukan dan pengelolaan BUMDes memerlukan peran aktif masyarakat untuk turut serta mendukung keberlangsungan BUMDes
d.    Demokrasi
Pembentukan dan pengelolaan BUMDes didasarkan serta memperhatikan kebutuhan masyarakat.

3.    Bentuk badan usaha dan bidang usaha
Bentuk badan hukum BUMDes:

  •  BUMDes harus berbadan hukum;
  • BUMDes wajib memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
  • Badan hukum yang dibentuk bisa berupa Perseroan Terbatas (PT), CV, Firma atau bentuk badan hukum lainnya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

Bidang usaha BUMDes
a. Bidang usaha yang dikelola BUMDes dapat bergerak pada satu bidang usaha atau gabungan dari berbagai usaha;
b. Bidang usaha yang dapat dijalankan oleh BUMDes:

  • Jasa keuangan, simpan pinjam;
  • Jasa lain: listrik desa, telekomunikasi desa, transportasi, pengelolaan sampah, penggilingan padi, air bersih dan jasa lainnya;
  • Perdagangan: pengelolaan pasar desa, penyediaan dna penyaluran sembilan bahan pokok, penyaluran dan penyediaan sarana produksi pertanian, perdagangan hasil pertanian;
  • Industri kecil dan kerajinan rumah tangga;
  • Kegiatan perekonomian lainnya.
 
4.    Kepengurusan BUMDes, terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
      a.    Dewan Pengawas

  • Dewan Pengawas BUMDes terdiri dari 3 orang yaitu seorang ketua dan 2 (dua) orang anggota;
  •  Ketua Dewan Pengawas diambilkan dari unsur perangkat desa;
  • Anggota Dewan Pengawas berasal dari tokoh masyarakat;
  • Pengangkatan Ketua dan Anggota Dewan Pengawas dilakukan melalui musyawarah desa;
      b.    Direksi dan Kepala Unit Usaha
  • BUMDes dipimpin oleh seorang direksi yang dipilih dari unsur masyarakat;
  • Dalam menjalankan tugasnya Direksi dibantu oleh Kepala Unit Usaha dan staf;
  • Direksi dan kepala Unit Usaha BUMDes sebagai pelaksana operasional BUMDes diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desa melalui musyawarah desa.
      c.    Penghasilan Pengurus
  • Besarnya gaji/honorarium Dewan Pengawas setinggi-tingginya adalah 40% gaji/honorarium direksi;
  • Besarnya gaji Direksi, Kepala Unit Usaha, dan staf ditetapkan berdasarkan kemampuan keuangan BUMDes (sesuai pembagian hasil usaha) dengan persetujuan Kepala Desa melalui Dewan Pengawas;
5.    Permodal BUMDes, dapat berasal dari:
  • Pemerintah desa, dan merupakan kekayaan desa yang dipisahkan;
  • Tabungan masyarakat;
  • Bantuan atau hibah dari pemerintah baik Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Pemerintah Daerah;
  • Penyertaan modal pihak lain atau kerjasama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan;
  • Pinjaman kepada lembaga keuangan. pinjaman atas nama pemerintah desa harus mendapatkan persetujuan BPD;
  • Usaha lain yang sah.
6.    Rencana Kerja dan Anggaran
  • Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai berlaku, Direksi menyusun dan mengirimkan rencana kerja serta anggaran untuk mendapat persetujuan Dewan Pengawas;
  • Rencana kerja dan anggaran merupakan landasan direksi dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya;
  • Rencana kerja dan anggaran dimaksud berlaku untuk satu tahun;
7.    Pembagian Hasil Usaha
  1. Deviden sebesar 40 %; dan dibagikan secara proporsional kepada para pemegang saham;
  2. Pemupukan modal usaha sebesar 20%;
  3. Kas Desa sebesar 10%;
  4. Dana  pendidikan dan pelatihan pengurusan sebesar 10%;
  5. Direksi, kepala unit usaha dan staf sebesar 15 %;
  6. Dewan pengawas sebesar 5 %.
8.    Pengelolaan
  • transparan artinya dapat diketahui, diikuti, dipantau, diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat desa secara luas;
  • akuntabel mengikuti kaidah yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat;
  • akseptabel yaitu berdasarkan kesepakatan antar pelaku dalam masyarakat desa sehingga memperoleh dukungan dari semua pihak.
  • berkelanjutan yang dapat memberikan hasil dan manfaat kepada masyarakat;
 
9.    Pertanggungjawaban
  •   dilakukan sebagaimana lazimnya yang berlaku di masyarakat desa melalui musyawarah desa;
  • Sistem pelaporan kepada masyarakat maupun kepada pihak lainnya dibuat berdasarkan jenis usaha dengan sistematika sebagai berikut :
  1.  Pendahuluan, memuat  latar belakang, maksud dan tujuan usaha;
  2. Kegiatan usaha memuat materi pelaksana/tenaga kerja, produksi, penjualan/pemasaran dan keuntungan;
  3. Permasalahan/hambatan, memuat materi pengadaan bahan baku, pemasaran, tenaga kerja, permodalan dan mitra usaha.



Jumat, 25 November 2011

Kelompok Kepentingan

Gabriel Almond membagi kelompok kepentingan menjadi 4 jenis, yaitu: 

1. Non Asosiasional. Anggotanya berasal dari faktor keturunan. Tidak ada unsur memilih untuk menjadi anggota kelompok ini. Kelompok kepentingan ini biasanya bersifat laten, dan muncul bila ada kepentingan khusus. Contoh: Organisasi-organisasi yang terkait dengan Suku, agama, golongan bangsawan, marga, dll.

2. Institusional. Anggotanya terkait dengan kepentingan ekonomi, atau biasanya terkait dengan pekerjaan. Misalnya KORPRI, PGRI, SBSI, IKADIN atau pekerjaan lain. TNI dan Polri juga sering dimasukkan dalam kelompok kepentingan ini. 

3. Asosiasional. Anggotanya masuk secara sukarela. Biasanya bertindak sesuai dengan kepentingan anggotanya. Misalnya, Ikatan Motor Besar Indonesia, Rotary Club, Kelompok Pencinta Clubbing, Perguruan Bela Diri, dan lain-lain. 

4. Anomik. Kelompok yang tidak tentu. Muncul dan menghilangnya anggotanya tidak tentu. Contoh: kerusuhan, demonstrasi, mogok, termasuk walk outnya anggota DPR dari sidang. 

Dalam berbagai pembahasan lain, Kelompok anomik seringkali juga dimasukkan dalam ketiga kelompok kepentingan yang lain. Untuk kepentingan perbandingan politik sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan ada atau tidaknya kelompok kepentingan, karena pasti selalu ada, meski bersifat laten. Tetapi bagaimana membedakan satu kelompok dengan yang lain itulah yang perlu diperhatikan. Juga bagaimana membedakan kepentingan yang terkait dengan proses politik atau yang hanya bersifat sosial. 

Jean Blondel lebih suka memperhatikan kelompok kepentingan menurut kepentingannya itu sendiri, bukan dari anggota yang membentuk kelompok tersebut. Untuk itu ia membagi kelompok kepentingan dengan suatu spectrum dari yang bersifat komunal hingga yang bersifat asosiasional. Diantara ada 4 macam kelompok kepentingan yaitu: 

1. Customary. Kelompok ini terbentuk tidk untuk tujuan tertentu, tetapi labih merupakan hasil dari system sosial yang ada. Biasanya berupa kelompok kesukuan, kasta, kelompok etnis dan lain-lain. 

2. Institusional. Kelompok ini biasatny terbentuk bukan untuk tujuan politik tetapi secara tidak langsung terseret ke dalamnya. Contohnya adalah kelompok gereja (dan keagamaan lain), perusahaan-perusahaan, serikat dagang dan perguruan tinggi. Kelompok ini juga mencakup militer dan birokrasi. 

3. Protektif. Kelompok ini terkadang disebut sebagai kelompok fungsional. Kelompok ini diorganisasikan segara formal dan bertujuan untuk melindungi kepentingan materi dari anggota kelompoknya. Kelompok inilah yang pertama muncul bila kita berbicara tenteng kelompok kepentingan. Anggotanya berkisar dari ahli fisika, hinga kelompok-kelompok dosen. Mereka memastikan bahwa segala kebutuhan anggotanya akan terpenuhi oleh system politik yang dibangun oleh pemerintah . 

4. Promosional. Kelompok ini Terkadang disebut sebagai kelompok kampanye. Mereka membentuk kelompok untuk mengenalkan dan memasyarakatkan ide-ide baru, identitas, nilai-nilai atau bahkan kebijakan. Contohnya adalah kelompok pro (atau kontra) aborsi, kelompok anti pornografi dan kelompok pelestarian lingkungan. 

Rabu, 16 November 2011

Etika Birokrasi Dibentuk


            Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.

            Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.

            Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.

            Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’. 

            Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.

            Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).

            Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudah tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karena tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan payung hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sanksi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA, tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu : 
 
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.

            Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.

            Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.