Cari Blog Ini

Kamis, 20 Oktober 2011

Sejarah sistem pemerintahan Indonesia


            Perkembangan ketatanegaraan Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.
            Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional.  Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah / lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
·      Tahun 1945 - 1949
            Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD 45 antara lain:
a)      Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara yang merupakan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b)     Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP - KNIP.

·      Periode 1949-1950
Lama periode                    : 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950
Bentuk Negara                  : Serikat (Federasi)
Bentuk Pemerintahan      : Republik Semu (Quasi Parlementer)
Sistem Pemerintahan      : Parlementer
Konstitusi                          : Konstitusi RIS
Presiden & Wapres        : Ir.Soekarno = presiden RIS (27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950)
       Pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 dikota Den Hagg, (Belanda) diadakan konferensi Meja Bundar (KMB). Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, Delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid Alkadrie dan delegasi Belanda dipimpin olah Van Harseveen. Adapun tujuan diadakannya KMB tersebut itu ialah untuk meyelesaikan persengketaan Indonesia dan Belanda selekas-lekasnya dengan cara yang adil dan pengakuan kedaulatan yang nyata, penuh dan tanpa syarat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
       Salah satu keputusan pokok Konfrensi Meja Bundar ialah bahwa kerajaan Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949. Demikianlah pada tanggal 27 Desember 1949 Ratu Juliana menandatangani Piagam Pengakuan Kedaulatan RIS di Amesterdam. Bila kita tinjau isinya, konstitusi itu jauh menyimpang dari cita - cita Indonesia yang berideologi pancasila dan ber UUD 1945 karena :
1.      Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat (federalisme) yang terbagi dalam 16 negara bagian, yaitu 7 negara bagian dan 9 buah satuan kenegaraan (pasal 1dan 2, Konstitusi RIS).
2.      Konstitusi RIS menentukan suatu bentuk negara yang liberalistis atau pemerintahan berdasarkan demokrasi parlementer, dimana menteri-menterinya bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah kepada parlemen (pasal 118, ayat 2 Konstitusi RIS).
3.      Mukadimah Konstitusi RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa atau semangat pembukaan UUD proklamasi sebagai penjelasan resmi proklamasi kemerdekaan negara Indonesia (Pembukaan UUD 1945 merupakan Decleration of independence bangsa Indonesia, kata tap MPR no. XX / MPRS / 1996). Termasuk pula dalam pemyimpangan mukadimah ini adalah perubahan kata- kata dari kelima sila pancasila. Inilah yang kemudian yang membuka jalan bagi penafsiran pancasila secara bebas dan sesuka hati hingga menjadi sumber segala penyelewengan didalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.

·      Periode 1950 - 1959
Lama periode                    : 15 Agustus 1950 - 5 Juli 1959
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan      : Republik
Sistem Pemerintahan      : Parlementer
Konstitusi                          : UUDS 1950
Presiden & Wapres         : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta
            UUDS 1950 adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.  UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang - Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke - 3 Rapat ke - 71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan  sementara,  karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut - larut. Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat, pendapat - pendapat untuk kembali kepada UUD  45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD 45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini, Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
            Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi dekrit presiden 5 Juli 1959 antara lain :
1.      Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2.      Pembubaran Konstituante
3.      Pembentukan MPRS dan DPAS

·      Periode 1959 - 1966 (Orde Lama)
Lama periode                    : 5 Juli 1959 - 22 Februari 1966
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan      : Republik
Sistem Pemerintahan      : Presidensial
Konstitusi                          : UUD 1945
Presiden & Wapres          : Ir.Soekarno & Mohammad Hatta
            Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang - undang dasar, menggantikan Undang - Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
            Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
1.      Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR / DPR dan MA serta Wakil   Ketua DPA menjadi Menteri Negara
2.      MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
3.      Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia

·      Periode 1966 - 1998 (Orde Baru)
Lama periode                    : 22 Februari 1966 - 21 Mei 1998
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan      : Republik
Sistem Pemerintahan      : Presidensial
Konstitusi                          : UUD 1945
Presiden & Wapres         
o  Soeharto (22 Februari 1966 - 27 Maret 1968)
o  Soeharto (27 Maret 1968 - 24 Maret 1973)
o  Soeharto & Adam Malik (24 Maret 1973 - 23 Maret 1978)
o  Soeharto & Hamengkubuwono IX (23 Maret 1978 - 11 Maret 1983)
o  Soeharto & Try Sutrisno (11 Maret 1983 - 11 Maret 1988)
o  Soeharto & Umar Wirahadikusumah (11 Maret 1988 - 11 Maret 1993)
o  Soeharto & Soedharmono (11 Maret 1993 - 10 Maret 1998)
o  Soeharto & BJ Habiebie (10 Maret 1998 - 21 Mei 1998)
            Pada masa Orde Baru (1966 -1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat / private debt dijadikan beban rakyat Indonesia / public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancurkan hutan dan sumber daya alam kita.
            Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat sakral, diantaranya melalui sejumlah peraturan:
1.      Ketetapan MPR Nomor I / MPR / 1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
2.      Ketetapan MPR Nomor IV / MPR / 1983 tentang Referendum yang antara lain      menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
3.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan   pelaksanaan TAP MPR Nomor IV / MPR / 1983.

·      Periode 1998 - sekarang
Lama periode                    : 21 Mei 1998 - sekarang
Bentuk Negara                  : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan      : Republik
Sistem Pemerintahan      : Presidensial
Konstitusi                          : UUD 1945
Presiden & Wapres         
o  B.J Habiebie (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999)
o  Abdurrahman Wahid & Megawati Soekarnoputri (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001)
o  Megawati Soekarnoputri & Hamzah Haz (23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004)
o  Susilo Bambang Yudhoyono & Muhammad Jusuf Kalla (20 Oktober 2004 - 20 Oktober 2009)
o  Susilo Bambang Yudhoyono & Boediono (20 Oktober 2009 - 2014)
            Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal - hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
Pengelompokkan sistem pemerintahan
1.   Sistem pemerintahan Presidensial
            Merupakan sistem pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Contoh Negara: Amerika Serikat, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.
            Ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensial:
o  Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
o  Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
o  Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
o  Eksekutif dipilih melalui pemilu.

2.   Sistem pemerintahan Parlementer
            Merupakan suatu system pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia. Contoh Negara : Amerika Serikat, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.
            Ciri-ciri sistem pemerintahan Parlementer :
o  Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan.
o  Adanya tanggungjawab yang saling menguntungkan antara legislatif dengan eksekutif, dan antara presiden dan kabinet.
o  Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan legislatif.

3.   Sistem pemerintahan Campuran
            Dalam system pemerintahan ini diambil hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan Presidensial dan sistem pemerintahan Parlemen. Selain memiliki presiden sebagai kepala Negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Contoh Negara : Perancis.

Sistem Pemerintahan Indonesia
            Berdasarkan penjelasan UUD 45, Indonesia menganut sistem Presidensial. Tapi dalam praktiknya banyak elemen - elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer. Kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia yaitu :
o  Presiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan Dewan Perwakilan Rakyat.
o  Pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak dibayangi krisis kabinet.
o  Presiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia yaitu :
o  Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden.
o  Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif presiden.
o  Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh.
o  Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian.
Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 45 sebelum diamandemen:
o  Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
o  Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat Undang - undang.
o  Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
o  Dewan Pertimbangan Agung sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
o  Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
o  Badan Pemeriksa Keuangan pengaudit keuangan.
Sistem Pemerintahan Indonesia setelah amandemen (1999 - 2002)
o  Majelius Permusyawaratan Rakyat bukan lembaga tertinggi lagi.
o  Komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih oleh rakyat.
o  Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
o  Presiden tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Minggu, 16 Oktober 2011

Sanksi Hukum Administrasi



I.            Pengertian
                  Sanksi Hukum Administrasi, menurut J.B.J.M. ten Berge, sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi. Menurut P de Haan dkk, dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis.  JJ. Oosternbrink berpendapat sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah, warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.

II.            Macan-macam sanksi hukum administrasi Negara
1.      Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang)
                  Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Contoh Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa izin yang Berhak atau Kuasanya. Bestuursdwang merupakan Kewenangan Bebas, artinya pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan bestuursdwang atau tidak atau bahkan menerapkan sanksi yang lainnya.

2.      Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan.
            Penarikan kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Ini diterapkan dalam hal jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.
            Penarikan kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, karena di dalam Hukum Administrasi Negara terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa, yaitu bahwa pada asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar menurut hukum. Oleh karena itu, Ketetapan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan itu pada dasarnya tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh hakim di pengadilan.

3.      Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)
            N.E. Algra, mempunyai pendapat tentang pengenaan uang paksa ini, menurutnya, bahwa uang paksa sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran bunga. Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.

4.      Pengenaan Denda Administratif.
                        Pendapat P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat perbedaan dalam hal pengenaan denda administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti. Dalam pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas hukum administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.

           


III.            Dasar hukum
·         Undang-undang
                  Sanksi-sanksi administrasi dalam Hukum Administrasi Negara sesungguhnya telah diundangkan atau diatur dalam Undang-Undang. Sebagaimana termaktub dalam Peraturan Perundang-undangan “Lingkungan Hidup” pasal 25 poin (1, 2, 3, 4, dan 5) yaitu pada bagian Ketiga (Sanksi Administrasi). Contoh perundang-undangan yang memuat ketentuan penting yang melarang para warga bertindak tanpa izin, sebagaimana termaktub dalam Pasal 47 ayat 1 woningwet negeri belanda: “Dilarang mendirikan bangunan tanpa atau menyimpang dari izin tertulis walikota dan para anggota dewan perwakilan rakyat kotapraja berkenaan dengan izin mendirikan bangunan”. Adapun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan suatu izin, termasuk sanksi-sanksi administrasi yang khas, antara lain adalah :
1) Bestuurdwang (berbentuk paksaan pemerintahan);
2) Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan.
3) Pengenaan denda administratif.
4) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)
·         Landasan filosofis
                  Landasan filosofis pembentuksn ombudsman di Negara Indonesia, yatiu untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan Negara dan untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak pada masyarakat. Komisi Ombudsman Nasional lebih banyak berhubungan dengan aparatur penyelenggara Negara, terutama pemarintahan dan peradilan, untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan secara bersih dan mempercepat proses penegakan pemberantasan korupsi sebagaimana termaktub dalam Keppres No 44 tahun 2000, sebagai berikut :
1. Melakukan pengawasan untuk menjamin penyelenggaraan Negara yang jujur, bersih, transparan, bebas, korupsi, kolusi dan nepotisme.
2. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan Negara.
3. Memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk peradilan yang merupan bagian tak terpisahkan dari pupaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
4. Memperhatikan atas aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, maka dipandang sangat perlu dibentuk komisi pengawasan oleh masyarakat yang bersifat mandiri
Maka dapat disimpulkan bahwa miunculnya lembaga Ombudsman ini adalah untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Indonesia pada umumnya.
·         Konsep Beschikking dan Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang No.5 tahun 1986
Lembabaga ombudsman
Di bentuk dengan keppres dan bertugas :
o   menampung aspirasi masyarakat.
o   menginformasikan hak-hak kewenangan masyarakat.
o   Tidak terbatas dari segi hukum saja tetapi aspek-aspek lainnya yang bersangkutan dengan tindakan pemerintahan.

Peradilan tata usaha Negara
Dibentuk dengan undang-undang dan bertugas :
o   Mengembangkan dan memelihara administrasi Negara menurut hokum (rectig)
o   Memelihara Administrasi Negara tetap menurut UU (wetmaning).
o   Memelihara Administrasi Negara secara fungsional (efektif) dan atau berfungsi efisien.