Berbicara mengenai format otonomi desa sebenarnya tidak dapat lepas dari kajian tentang kewenangan desa. Ada beberapa model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa:
- Apabila desa diberi kedudukan sebagai kesatuan masyarakat (self governing community) yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya (kedudukan desa sebagai desa adat) maka kewenangan yang dimiliki oleh desa adalah kewenangan asli berdasarkan asas rekognasi;
- Apabila desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (local self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “diserahkan” dari pemerintah, sesuai dengan asas desentralisasi;
- Apabila desa ditempatkan sebagai unit administratif atau kepanjangan tangan negara (lokal self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “didelegasikan” oleh pemerintah atasannya sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan.
Sejarah pengaturan mengenai desa, kedudukan, dan kewenangannya sangatlah panjang bahkan sudah ada sejak zaman pemerintah Belanda melalui Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) untuk mengatur desa di Jawa dan Madura; serta Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewsten (IGOB) untuk mengatur desa di luar Jawa dan Madura. IGO dan IGOB inilah yang menjadikan bentuk dan corak desa beraneka ragam dengan memiliki ciri-ciri tersendiri.
Pengaturan desa dalam suatu masa “penyeragaman” diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1979. Undang-undang ini menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara, yang artinya pemerintahan ada di pusat tetapi dilaksanakan di daerah. Kewenangan desa tidak disebutkan secara jelas hanya dinyatakan bahwa kewenangan, hak-hak, dan kewajiban desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan desa adalah kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul, kewenangan yang oleh peraturan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta tugas pembantuan dari Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah. Undang-undang ini mengarah ke otonomi desa tetapi memberikan cek kosong kepada Bupati untuk mengatur desa karena yang memberikan desentralisasi adalah negara bukan kabupaten.
Sedangkan saat ini kewenangan desa berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Menurut Undang-undang ini kedudukan desa menjadi ambivalen dan tidak jelas. Undang-undang ini mempertegas “otonomi asli” sebagai prinsip pemerintahan desa. “Otonomi asli” berarti identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi dari kewenangan yang diberikan menunjukkan desa sebagai unit administratif atau satuan pemerintahan, sehingga dapat dikatakan bahwa format otonomi desa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah berbentuk campuran.
Mengikuti model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa, maka hubungan keuangan desa dengan pemerintah juga dibedakan sebagai berikut:
Pengaturan desa dalam suatu masa “penyeragaman” diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1979. Undang-undang ini menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara, yang artinya pemerintahan ada di pusat tetapi dilaksanakan di daerah. Kewenangan desa tidak disebutkan secara jelas hanya dinyatakan bahwa kewenangan, hak-hak, dan kewajiban desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan desa adalah kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul, kewenangan yang oleh peraturan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta tugas pembantuan dari Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah. Undang-undang ini mengarah ke otonomi desa tetapi memberikan cek kosong kepada Bupati untuk mengatur desa karena yang memberikan desentralisasi adalah negara bukan kabupaten.
Sedangkan saat ini kewenangan desa berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Menurut Undang-undang ini kedudukan desa menjadi ambivalen dan tidak jelas. Undang-undang ini mempertegas “otonomi asli” sebagai prinsip pemerintahan desa. “Otonomi asli” berarti identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi dari kewenangan yang diberikan menunjukkan desa sebagai unit administratif atau satuan pemerintahan, sehingga dapat dikatakan bahwa format otonomi desa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah berbentuk campuran.
Mengikuti model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa, maka hubungan keuangan desa dengan pemerintah juga dibedakan sebagai berikut:
- Desa kesatuan masyarakat, memperoleh bantuan pemerintah terutama untuk mendukung pengembangan masyarakat;
- Desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom, memperoleh dana alokasi desa secara nasional seperti halnya DAU yang diterima oleh provinsi dan kabupaten/kota yaitu Alokasi Dana desa (ADD);
- desa administratif, memperoleh bantuan operasional, bantuan pembangunan dan bantuan dalam tugas pembantuan.
How to gamble online: The key to becoming a gambler - drmcd
BalasHapusHow to become a gambler. 김포 출장샵 · 청주 출장안마 Choose 경상남도 출장안마 one of 광주 출장샵 the three options · Choose a sport that is popular, that is a sport that offers 전주 출장샵 more than two